Hambatan Refuse Derived Fuel (RDF) dan Strategi Model Bisnisnya di Indonesia
UNPAGE Indonesia - Pengembangan Refused Derived Fuel (RDF) di Indonesia menghadapi banyak kendala. Seperti kelayakan ekonomi RDF, banyaknya data yang tersedia dalam analisis potensi bahan baku, konflik penggunaan bahan baku, serta investasi dan akses pendanaan yang membutuhkan modal awal yang besar.
Sedangkan pedoman perjanjian jual beli tenaga listrik belum terdistribusi dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik. Oleh karena itu, diperlukan strategi model bisnis RDF baik skala besar maupun kecil untuk mekanisme penjualan produknya.
Model bisnis yang perlu didorong adalah fasilitas RDF berbasis pemerintah (skema non-KPBU) dan berbasis swasta/masyarakat (Tempat Olah Sampah Setempat/TOSS).
Model bisnis non-KPS diusulkan untuk mempercepat RDF skala besar. Dibandingkan dengan model bisnis PPP, skema ini tidak memerlukan proses administrasi.
Dalam model bisnis non-KPBU, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membangun fasilitas RDF yang meliputi penyediaan infrastruktur dasar hingga aset pendukung. Setelah RDF siap, PUPR akan memberikan fasilitas kepada pemerintah daerah. Setelah diterima, pemerintah daerah menyerahkannya kepada pihak swasta sebagai operator fasilitas RDF. Pemilihan pihak swasta dilakukan melalui skema tender atau penunjukan langsung.
Biaya operasional dan pemeliharaan produksi RDF akan ditanggung oleh pihak swasta. Untuk menutupi biaya tersebut, pihak swasta mengandalkan hasil penjualan produk RDF dan tipping fee dari pemerintah daerah.
Nantinya, dalam jangka panjang, pemda akan menaikkan tarif retribusi sektor persampahan sebagai sumber pendanaan fasilitas tipping fee tarif tinggi. Hal itu karena mengingat keterbatasan kemampuan keuangan pemerintah.
Sedangkan pada model bisnis RDF skala kecil melalui TOSS, masyarakat dan pihak swasta akan berperan sebagai inisiator dan operator fasilitas yang berhak menerima stimulus. Pemberian insentif terkait dengan keterbatasan kemampuan pemerintah daerah sebagai penanggung jawab pengelolaan sampah.
Skema insentif model bisnis TOSS mengatasi masalah kewajiban finansial, baik dari biaya modal atau Capital Expenditure (CAPEX) maupun biaya operasional atau Operational Expenditure (OPEX).
Model bisnis yang perlu didorong adalah fasilitas RDF berbasis pemerintah (skema non KPBU) dan berbasis swasta/masyarakat (Tempat Olah Sampah Setempat/TOSS).
Fokusnya adalah memberikan dukungan kepada pihak swasta atau masyarakat untuk membangun fasilitas TOSS. Nantinya, OPEX akan didukung dengan tipping fee yang diberikan oleh pemerintah daerah.